TELUR DADAR

Telur Dadar

Hari sudah siang, malah sudah sangat siang. Bocah Bagus pun telah pulang dari sekolah. Sepatunya yang butut, bajunya yang tambal sulam, dan tasnya yang sobek di sana serta sobek di sini telah berada di tempatnya masing-masing.
Usai melaksanakan kewajiban menghadap Tuhan YME, Bocah Bagus menuju meja makan. Perutnya yang keroncongan minta segera diisi.

NOL BESAR

Sekali NOL BESAR, tetap NOL BESAR

“Sabar, anakku … Hanya telur dadar yang mampu Ibu siapkan untuk makanmu,” kata Ibu Pertiwi sembari menyodorkan piring di hadapannya..
”Nasinya, Bu?”
Ibu Pertiwi tersenyum tipis, ”Jangan tanya nasi … ”.
”Apakah Ibu tidak memiliki beras lagi?” tanya Bocah Bagus dengan sedikit mengernyitkan dahi,
”Beras Ibu, banyak. Tuh, lihat lumbung kita …”.
”Lalu?”
”Ayahmu belum sempat membelah kayu .. Kayunya tinggal yang besar-besar. Jika dipaksa, tungkunya bisa ambrol, Anakku”.
Sambil berjingkat Bocah Bagus mendatangi bilik ayahnya. Dari celah daun pintu, terlihat sosok wajah ayah yang pucat membiru, tergolek tenang di pembaringan. Ingin rasanya memeluk ayah yang dirindukan. Tapi, Ibu Pertiwi selalu melarangnya.
”Jangan ganggu ayah,” bisik Ibu Pertiwi..
Bocah Bagus menghela nafas panjang, ”Lalu, Ibu tadi menggoreng ini pakai apa?” tanya Bocah Bagus sembari mengamati telur dadarnya yang masih hangat.
Lagi-lagi Ibu Pertiwi tersenyum, “Ibu jemur di bawah panas matahari”.
“Ha? … Sudah sepanas itukah matahari, Ibu?”
Ibu Pertiwi tidak menjawab. Beliau pura-pura tidak mendengar. Namun, dua butir mutiara terlihat mengambang di sudut matanya.
”Aku belahkan kayunya, ya, Bu?”
Ibu Pertiwi tersentak, ”Jangan … nanti kamu dicap teroris, mau? Sabarlah, tunggu ayahmu sampai bangun … ”.

Tentang Sang Nata Sugiarno

Sang Nata Sugiarno bukan siapa-siapa ...
Pos ini dipublikasikan di selembar dan tag , , , , . Tandai permalink.